MENGGUGAT HUKUM MAYORITAS

9 menit baca
MENGGUGAT HUKUM MAYORITAS
MENGGUGAT HUKUM MAYORITAS

Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc حفظه الله تعالى

Telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan para penentang kebenaran. Maka menjadi ironi, ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara mayoritas.

Apa Itu Hukum Mayoritas❓

Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan kali ini adalah suatu ketetapan hukum di mana jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti meski bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ.

Sejauh mana keabsahan hukum mayoritas ini❓Untuk mengetahui jawabannya, perlu ditelusuri terlebih dahulu oknum (pengusung) nya, yang dalam hal ini adalah manusia, baik tentang hakikat dirinya, sikapnya terhadap para rasul, maupun keadaan mayoritas mereka, menurut kacamata syariat. Dengan diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui pula sejauh mana keabsahan hukum tersebut.

Hakikat Jati Diri Manusia

Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah سبحانه وتعالى yang menyatakan diri siap memikul ‘amanat berat’ yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi, dan gunung-gunung. Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjatidiri dzalum (amat zalim) dan jahul (amat bodoh). Allah سبحانه وتعالى berfirman:

إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا ٧٢

“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(al-Ahzab: 72)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di رحمه الله berkata, “Allah سبحانه وتعالى mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan kepada para mukallafin (makhluk yang dibebani hukum syariat), yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi, dan gunung-gunung sebagai tawaran pilihan, bukan keharusan, ‘Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya ada pahala bagimu, dan bila tidak niscaya kamu akan dihukum.’

Maka makhluk-makhluk itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh terhadap pahala-Nya. Kemudian Allah سبحانه وتعالى tawarkan kepada manusia, maka ia pun siap menerima amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kezaliman dan kebodohan yang ada pada dirinya. Maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul olehnya.” (Taisirul Karimirrahman, hlm. 620)

Allah سبحانه وتعالى Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana, tidaklah membiarkan manusia mengarungi kehidupan dengan memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka Dia pun mengutus para rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci agar manusia berpegang teguh dengannya dan mengambil petunjuk darinya.

Allah سبحانه وتعالى berfirman:

لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ

“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, serta Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
(al-Hadid: 25)

Sikap Manusia terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka

Namun, demikianlah umat manusia. Para rasul yang membimbing mereka itu justru ditentang, didustakan, dan dihinakan. Allah سبحانه وتعالى berfirman:

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانَت تَّأۡتِيهِمۡ رُسُلُهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ فَكَفَرُواْ فَأَخَذَهُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّهُۥ قَوِيّٞ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢٢

“Yang demikian itu dikarenakan telah datang para rasul kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir (menentang para rasul tersebut), maka Allah mengazab mereka. Sesungguhnya Dia Mahakuat lagi Mahadahsyat hukuman-Nya.” (Ghafir: 22)

فَإِن كَذَّبُوكَ فَقَدۡ كُذِّبَ رُسُلٞ مِّن قَبۡلِكَ جَآءُو بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُنِيرِ ١٨٤

“Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya para rasul sebelummu pun telah didustakan (pula). Mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.”                  (Ali ‘Imran: 184)

Demikianlah kacamata syariat memandang oknum mayoritas. Bila demikian kenyataannya, lalu bagaimana dengan hukum mayoritas itu sendiri❓

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab رحمه الله menggolongkan hukum mayoritas ini ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliah, bahkan termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata, “Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas. Mereka menilai suatu kebenaran dengannya serta menilai suatu kebatilan dengan langka dan sedikitnya orang yang melakukan….” (Masail al-Jahiliah,masalah ke-5)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Di antara karakter jahiliah, mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas. Sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak benar, karena Allah عزوجل berfirman:

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ١١٦

“Dan jika kamu menurut mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti_ _persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah سبحانه وتعالى).”(al-An’am: 116)

Allah سبحانه وتعالى juga berfirman:

وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ١٨٧

“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)

وَمَا وَجَدۡنَا لِأَكۡثَرِهِم مِّنۡ عَهۡدٖۖ وَإِن وَجَدۡنَآ أَكۡثَرَهُمۡ لَفَٰسِقِينَ ١٠٢

“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (al-A’raf: 102)

Dan lain sebagainya.” (Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 60).

Bila demikian permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”¹. Suatu pernyataan sesat yang memosisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan firman-firman Allah سبحانه وتعالى di atas ?! Yang lebih tragis lagi, orang-orang yang mengampanyekan diri sebagai “partai Islam”, siang dan malam berteriak “tegakkan syariat Islam‼”, namun sejak awal kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak.

Tak mau tahu, suara siapakah itu. Ketika telah duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata tegakkan sedangkan kata syariat Islam tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syariat Islam, menampakkan syi’ar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan.

Terlebih lagi ketika rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu… Tak mau peduli, apakah sesuai dengan syariat Islam ataukah justru menguburnya… Tak mau pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Ketika hasil sidang tersebut diprotes karena tak selaras dengan syariat Islam, maka dia pun orang yang pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan, kita harus mempunyai sikap toleran dan legowo , kita harus menjunjung tinggi demokrasi…, dan lain sebagainya.

Padahal jika belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah orang pertama yang menggelar demonstrasi² dengan berbagai macam atribut dan spanduknya.

Wallahul musta’an.

Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh dari hukum Allah سبحانه وتعالى, akan semakin buta tentang syariat Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Allah سبحانه وتعالى dan syariat-Nya.

Para pembaca yang dirahmati Allah سبحانه وتعالى, sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu dijadikan refleksi, yaitu digunakannya hukum mayoritas sebagai tolok ukur suatu dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya digelari “da’i sejuta umat” *maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat.* Padahal Allah سبحانه وتعالى telah berfirman tentang Nabi Nuh عليه السلام:

وَمَآ ءَامَنَ مَعَهُۥٓ إِلَّا قَلِيلٞ ٤٠

“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh عليه السلام) kecuali sedikit.”
(Hud: 40)

Rasulullah ﷺ bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ l…أَحَدٌ

“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya …” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari hadits Abdullah bin ‘Abbas رضي الله عنهما)

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy-Syaikh berkata, “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” _(Taisir al-‘Azizil Hamid,_ hlm.106)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin رحمه الله berkata, “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan. Allah سبحانه وتعالى berfirman:

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ١١٦

“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah سبحانه وتعالى).”
(al-An’am: 116)

Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan, ‘Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku bersikap eksklusif tidak sama dengan mereka❓’.”
(al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/106)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Maka tolok ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu mazhab atau perkataan, namun tolok ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan. Selamanya, sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar, pen.) karena banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolok ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim.”

Beliau juga berkata, “Maka tolok ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) ataupun sedikit (minoritas), bahkan tolok ukurnya adalah al-haq (kebenaran). Barang siapa di atas kebenaran walaupun sendirian maka ia benar dan wajib diikuti. Jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolok ukurnya adalah kebenaran. Oleh karena itu, para ulama berkata, ‘Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barang siapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti’.” (Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 61)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh berkata, “Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (yaitu mengikuti mayoritas manusia, pen.) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya ﷺ.” (Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin,_dinukil dari ta’liq [catatan kaki] Fathul Majid, hlm. 83, no. 1)

Bagaimanakah Jika Mayoritas Berada di Atas Kebenaran❓

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Namun sunnatullah menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan.

وَمَآ أَكۡثَرُ ٱلنَّاسِ وَلَوۡ حَرَصۡتَ بِمُؤۡمِنِينَ ١٠٣

“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ

“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan_ _menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(al-An’am: 116) [Syarh Masail al-Jahiliah,hlm. 62]

Penutup

Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syariat Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran suatu dakwah, manhaj, dan perkataan. Tolok ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush Shalih.

Atas dasar ini, maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj, dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari syariat Islam .

Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:
[1] Bahkan ini adalah kata-kata syirik, menyekutukan Allah سبحانه وتعالى dalam hal sifat-Nya ( _red._ ).

[2] Demonstrasi sendiri bukanlah dari ajaran Islam.

? Sumber
Majalah Asy Syariah Edisi 06

Abu Ammar Ahmad

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari)

Lainnya

  • Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, الذِّكرُ أفضلُ من الدعاء ؛ لأن الذِّكر ثناءٌ على ﷲ عزّ وجل بجميلِ أوصافه وآلائه...
  • Pemimpin adalah tonggak pokok dalam memberikan pengarahan dan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun, tidak semua pemimpin mampu memenuhi kriteria ideal...
  • Ketika kita membahas tentang cinta dan kasih sayang dalam hubungan pernikahan, seringkali terdengar nasihat yang bijak dari para ulama....
  • Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy rahimahullah menyatakan, فما رءي الشيطان أحقر ولا أدحر منه في يوم العرفة، لما يرى...
  • Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu menyatakan, من جاءك بالحقِّ فاقبلْ منه وإنْ كان بعيداً بغيضاً ، ومن جاءك بالباطل فارددْهُ...
  • Keimanan merupakan fondasi utama dalam menjalani kehidupan seorang muslim. Ibnu Mas’ud radhiyallohu ‘anhu, seorang sahabat Rasulullah ﷺ, memberikan wawasan...

Kirim Pertanyaan